Monday, June 27, 2011

Demokrasi Media: Para Pemimpin, Saatnya untuk Mendengarkan

 



Baru saja Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengumumkan hasil risetnya tentang tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam riset yang dilakukan pada 1 hingga 7 Juni lalu,  dengan melibatkan 1.200 responden di 33 provinsi di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik atas kinerja SBY turun hingga di bawah 50 persen. Ini terjadi pertama kalinya sejak SBY memenangi Pemilu 2009 lalu.

Tanda-tanda terus merosotnya pamor SBY juga bisa dilihat dari respon masyarakat terhadap pidato-pidato SBY belakangan ini. Berbagai kritikan, hujatan, dan ketidakpuasan masyarakat menanggapi pidato SBY mengalir deras melalui berbagai saluran media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, dan sebagainya. Baik dengan cara meng-update status, berbagi berita/foto, link video, dan komentar-komentar.

Fenomena tersebut terjadi dan berkembang pesat di masyarakat, dimana pemerintah dan para pemimpin yang berkuasa saat ini tidak mau ‘mendengarkan’. Mereka seolah menutup kuping atas apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat, sebagai konstituen yang sebagian besar telah memilih mereka. Model komunikasi (politik) yang ditampilkan cenderung “top-down” dan searah, dengan konten reaktif dan bersifat membela diri.

Saat ini kita memasuki era pengaruh sosial politik, sebuah kerangka bagi pemerintah yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konstituen melalui interaksi kehidupan nyata, yaitu media baru. Beberapa pihak mungkin mengatakan bahwa hal ini bukan sesuatu yang baru, karena pada esensinya media baru hanya akan terus berkembang, dan saat ini bermuara pada media sosial. Menurut pakar media sosial Brian Solis, media sosial merepresentasikan demokratisasi informasi dan pemerataan pengaruh. Siapapun bisa membuat, menerbitkan, dan mendistribusikan ide-ide, pandangan, berita, dan informasi. Konten bisa menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai saluran dan orang-orang yang terhubung, lebih cepat daripada waktu yang Anda butuhkan untuk membaca kalimat ini.

Pemerintah sekarang ini menghadapi apa yang disebut masyarakat 2.0. Dengan kemampuan dan kemudahan menggunakan alat-alat Web 2.0 dalam kehidupan sehari-hari atau disebut teknologi sosial, masyarakat dengan mudah dan cepat akan terlibat dalam isu-isu yang terjadi di sekitar mereka, membuat laporan kejadian, berbagi foto, menayangkan video-video, dan sebagainya. Didukung oleh berbagai kemudahan fasilitas yang disediakan oleh platform tersebut, real time dan menjangkau khalayak luas.

Kekuatan teknologi sosial, ketika terlibat secara penuh, dapat menjadi semacam revolusi. Bergabungnya kekuatan-kekuatan dapat menyediakan individu-individu, kelompok dan korporasi ke dalam wawasan teknologi sosial, peralatan untuk memacu penyebaran ide-ide, dan kemampuan untuk mendorong/menghasut tindakan yang cepat menular.

Salah satu pelajaran terbesar dalam media sosial adalah bahwa segala sesuatu dimulai dengan mendengarkan dan hal itu adalah benar untuk setiap bentuk kepemimpinan. Pemerintah dan sistem pemerintahan mereka telah banyak belajar. Media baru tidak hanya sekedar saluran yang kaya dengan wawasan, tetapi juga interaktif. Di sisi lain, orang-orang memiliki harapan atas penghargaan, pengakuan dan keterlibatan. Dengan demikian, kemampuan teknologi informasi kembali menghadirkan sebuah tantangan bagi pemerintah yang menerapkan model komunikasi top-down. Dan, tantangan ini harus diatasi.

Belajar dari Gedung Putih




Informasi memiliki historis perjalanan satu arah, dari mereka untuk Anda. Tapi, sekarang pemerintah tidak hanya belajar untuk mendengarkan, mereka mengeksplorasi sarana untuk mendengar, merespon dan bertindak. Sebagai contoh, tim sukses Barrack Obama menggunakan media sosial untuk terlibat dengan para pemilih pada pemilu 2008. Tim Obama mendorong konten yang sangat bagus dan memicu aspirasi-aspirasi dan sebagai hasilnya, "menarik" sumbangan yang memecahkan rekor untuk membantu Obama memenangkan pemilu kepresidenan. Ini sebuah awal yang sangat bagus. Pemerintahan Obama juga menyadari bahwa pemilu 2012 juga akan membutuhkan saluran media baru yang berporos dari komunikasi top-down ke komunikasi bottom-up yang memicu ART media sosial: Actions (Tindakan), Reactions (Reaksi) dan Transactions (Transaksi).

Banyak yang percaya bahwa Presiden Obama adalah Presiden Media Sosial yang pertama. Sementara banyak pemerintah dan juga Presiden Obama telah merangkul media untuk belajar, berinteraksi, dan juga mempengaruhi warga. Kita hanya berada di awal era baru demokrasi digital di mana orang memainkan peran aktif dalam pemerintahan sekarang dan yang akan datang.

Ke depan, tren keterlibatan interaktif sangat kuat. Tanpa kecerdasan, bagaimanapun, kemampuan untuk mengubah warga digital menjadi stakeholder yang aktif akan terbukti sulit dipahami. Pada akhirnya, apa yang paling penting adalah bahwa orang merasa bahwa mereka didengar dan perubahan tersebut jelas. Bagi pemerintah, ini penting bahwa orang-orang yang juga terlibat dan diarahkan untuk mengambil tindakan yang memicu hasil yang diinginkan.

Selain intelijen, media sosial membutuhkan orkestrasi dan kemampuan untuk merancang program dan pengalaman yang secara positif mempengaruhi perilaku. Dengan mengaktifkan algoritma manusia, pemerintah dapat menginspirasi generasi baru dari kolaborasi dan produktivitas yang menyelesaikan tugas, memecahkan masalah, dan membantu di mana bantuan yang dibutuhkan. Pada saat yang sama, ART terkait dengan program-program media baru ini akan memicu efek sosial yang memperluas jangkauan dari badan atau organisasi politik melalui grafik sosial dari warga yang terlibat yang berpotensi mempengaruhi teman dari temannya dan khalayak dari khalayaknya untuk berempati dengan upaya-upaya dan gerakan-gerakan.

Keterlibatan Gedung Putih dengan warganya diperlihatkan melalui kehadirannya di media sosial yaitu  website/blog, Facebook, Twitter, Flickr, MySpace, YouTube, Vimeo, iTunes, dan Linkedln. Pada Juni ini, Gedung Putih menerbitkan sebuah postingan blog tentang "What Our Facebook Fans and Twitter Followers Told Us." Postingan dimulai dengan catatan positif yang menunjukkan bahwa Gedung Putih memang mendengarkan di media sosial: 

Selama beberapa bulan terakhir, kami telah bekerja untuk meningkatkan kehadiran media sosial Gedung Putih untuk menyediakan bagi penggemar Facebook dan pengikut Twitter kami dengan update secara tepat waktu, relevan dan menarik tentang apa yang terjadi di Gedung Putih dan di seputar Administrasi.

Gedung Putih juga melakukan serangkaian survei dengan para penggemar Facebook dan pengikut Twitter untuk meminta umpan balik mereka tentang program-program online Gedung Putih. Survei tersebut menerima ribuan tanggapan dari masyarakat.

Ini sebuah langkah yang menjanjikan. Namun, dibutuhkan serangkaian langkah untuk membawa perubahan menuju kemajuan. Selayaknya, Pemerintahan SBY dan juga para politisi atau organisasi politik manapun untuk menggunakan media baru di luar mekanisme Public Relations atau jurnalisme yang dikendalikan foto. Media baru merepresentasikan kemampuan untuk memberdayakan penggemar dan pengikut untuk berkontribusi terkait dari setiap kampanye atau misi. Dengan demikian, jaringan sosial berevolusi dari saluran informasi ke keterlibatan masyarakat dengan kemampuan untuk menimbulkan efek dan mempengaruhi perilaku. Sudah waktunya untuk perubahan.