Sunday, April 17, 2011

Media Sosial untuk Perubahan Sosial: Politik dan Ekonomi





Kebebasan tidak lain adalah sebuah kesempatan untuk menjadi lebih baik ~ Albert Camus

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Seperti Facebook, Twitter, YouTube, MySpace, Blog, dan sebagainya. Sebuah terobosan dahsyat di bidang teknologi komunikasi atau lebih dikenal teknologi Web 2.0 (baca two-point-o). Memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang-orang; berbagi minat dan ide, foto-foto, video dan menyebarkan informasi dengan cepat, langsung dan tanpa batas.

Selama kurang dari sepuluh tahun terakhir, teknologi sosialisasi Web atau dikenal teknologi sosial ini telah merelovusi cara kita berkomunikasi dan berkolaborasi secara online. Setiap hari, lebih dari 175 juta orang log in ke Facebook. YouTube menerima lebih dari 2 miliar pemirsa setiap hari, dengan video di-upload ke YouTube per menit oleh pemirsa. Setiap detik, lebih dari 600 tweet di-update ke Web untuk khalayak di seluruh dunia. Dan angka-angka tersebut tumbuh secara ekponen. Baca laporan selengkapnya di “Inilah Fakta Menakjubkan Media Sosial 2010.”

Menurut Brian Solis, media sosial merepresentasikan demokratisasi informasi dan pemerataan pengaruh. Di situlah letak baik tantangan dan peluang bagi individu, perusahaan atau organisasi. Saat ini, siapapun bisa membuat, menerbitkan, dan mendistibusikan ide-ide, pandangan, berita, dan informasi. Konten bisa berkelilng ke seluruh dunia melalui berbagai saluran dan orang-orang yang terhubung, lebih cepat daripada waktu yang Anda butuhkan untuk membaca kalimat ini.

Saat ini kekuatan teknologi sosial, ketika terlibat secara penuh, dapat menjadi semacam revolusi. Bergabungnya kekuatan-kekuatan dapat menyediakan individu-individu, kelompok dan korporasi ke dalam wawasan teknologi sosial, peralatan untuk memacu penyebaran ide-ide, dan kemampuan untuk mendorong/menghasut tindakan yang cepat menular. 

Salah satu atribut penting dari komunikasi real time pada umumnya dan media sosial khususnya adalah mudah diakses dalam membuat penyebaran informasi massal untuk orang-orang biasa. Seperti ditulis Greg di postingannya berjudul “Why The Web Wins, Web dirancang dengan dua atribut dasar yaitu: konektivitas dan universalitas, keduanya menyediakan diri untuk gerakan-gerakan politik organik.

Sebagai contoh, meski bukan sebagai penyebab dasar, media sosial memiliki peran penting dalam revolusi di Tunisia dan Mesir belum lama ini. Khususnya dalam menyebarkan kata-kata dan dalam membantu para organisator merencanakan protes mereka. Di Mesir, para aktivis dan kubu posisi mudah memobilisasi massa dan mengkoordinasikan gerakan unjuk rasa melalui Facebook dan Twitter. Jaringan sosial itu bisa menjadi media alternatif dengan menayangkan video-video bentrokan yang segera tersebar di seluruh dunia melalui YouTube dan Blog. Dengan sangat cepat ratusan ribu kaum muda di negeri Piramida itu mengakses grup-grup yang ada di media sosial tersebut. 

Di bidang kemanusiaan, hanya pada tahun ini, Palang Merah Internasional (Red Cross) mengumpulkan lebih dari 40 juta dollar US untuk membantu bencana gempa di Haiti melalui donasi pesan teks. Teknologi sama yang biasa kita gunakan untuk mem-“poke” teman-teman kita atau retweet artikel menarik ini merupakan satu-satunya yang dapat menghubungkan dan memobilisasi kita untuk membawa perubahan. 

Peristiwa-peristiwa tersebut telah memberikan definisi baru untuk revolusi, menunjukkan kepada kita betapa banyak daya yang bisa dimanfaatkan di ujung jari kita. Dari sini kita mulai memahami bagaimana teknologi sosial dapat secara fundamental menggeser bagaimana kita terlibat dengan dan menginspirasi semua orang yang berjejaring dan memberdayakan mereka untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan perubahan secara global. 

Tindakan Kecil Menciptakan Perubahan Besar

Jadi, jika kita tahu maha daya media sosial, lantas apa yang membedakan orang-orang yang menggunakan media sosial untuk sesuatu yang lebih berkekuatan daripada hanya untuk bersenang-senang atau bermalas-malasan?

Clay Shirky, seorang professor Media Baru di Universitas New York, AS dalam postingannya di Foreign Affarirs berjudul “The Political Power of Social Media” mengatakan media baru kondusif untuk mendorong partisipasi dan bisa meningkatkan kebebasan. Hanya, salah satu yang perlu disayangkan tentang ide media baru sebagai kekuatan politik adalah bahwa kebanyakan orang hanya menggunakan alat-alat ini untuk perdagangan, kehidupan sosial, atau gangguan-diri. 

Jika kita menggunakan kesempatan itu untuk perubahan sosial, jenis perbedaan apa dapat kita buat? Berapa banyak orang dapat kita libatkan? Pengaruh apa dapat kita miliki secara individu, korporasi atau dunia? Ini saatnya bagi kita untuk mempergunakan kekuatan media sosial untuk kebaikan sosial.

Jennifer Aaker dan Andy Smith dalam bukunya berjudul “The Dragonfly Effect: Quick, Effective, and Powerful Ways to Use Social Media to Drive Social Change” menganalogikan bagaimana kita menggunakan kekuatan media sosial untuk menghasilkan sebuah dampak dengan kalimat: tindakan kecil menciptakan perubahan besar. Dengan mencontoh gerakan capung, seekor serangga yang dapat menggerakkan dirinya sendiri ke segala arah – dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat – ketika empat sayapnya sedang berkepak. Makhluk kuno, eksotis dan tidak berbahaya ini mengilhami pentingnya upaya-upaya terintegrasi. Hal ini juga mempertunjukkan bahwa tindakan kecil dapat menghasilkan gerakan-gerakan besar. 

Tanpa menghiraukan perubahan yang Anda cari untuk pengaruh di komunitas, negara dan bahkan dunia – apakah untuk menginpirasi orang lain untuk bergabung dengan gerakan sosial Anda, memobilisasi perubahan politik, atau hanya memenuhi kebutuhan individu – pertimbangkan untuk menggerakkan penyebab/alasan Anda dari kesadaran ke tindakan.

Berlawanan apa yang mungkin Anda pikirkan, mempromosikan tujuan pribadi (personal) adalah tak terpisahkan secara sosial. Untuk menjadi sukses, Anda harus menterjemahkan gairah Anda ke dalam cerita yang sangat kuat dan menyatakannya dalam cara yang membangkitkan “energi menular”, sehingga khalayak Anda tercermin pada update Facebook, tweet, postingan blog, atau email Anda. Dengan melakukan hal itu, Anda menghasilkan partisipasi, jaringan, pertumbuhan, dan efek reaksi – kekuatan yang mengkombinasikan untuk membentuk gerakan dimana orang-orang merasakan mereka menjadi bagian. Tujuan pribadi Anda kemudian menjadi kolektif.

Efek Capung mengikat kita ke orang lain, untuk komunitas yang lebih besar, dan untuk alasan-alasan sosial. Benar-benar tidak ada cara yang lebih baik untuk memperkuat koneksi antara diri kita sendiri dengan ruang lingkup kita, memenuhi kebutuhan psikologi dan emosial kita, dan, di atas segalanya, menciptakan makna dalam hidup kita dari dengan membudidayakan kebaikan sosial.

Kerapatan Jaringan

Solis dalam sebuah postingan brilliant tentang peran media sosial dalam revolusi, menyoroti kerapatan jaringan (ikatan yang dibuat antara orang-orang) sebagai faktor penentu dalam peristiwa di Mesir. Maksudnya bahwa media sosial, dengan memfasilitasi koneksi, membangun kerapatan jaringan, sehingga mengurangi jarak sosial dan memungkinkan tindakan.

“(R)evolusi informasi terkini ini yang sedang kita alami di berbagai belahan dunia secara global bukan mengenai teknologinya itu sendiri, tetapi lebih tentang sosiologi dan bagaimana mengubah perilaku kita dan masyarakat sebagai hasilnya,” kata Solis.

Jika persatuan adalah efek, kerapatan adalah penyebabnya. Tetapi untuk mencapai kerapatan, ikatan harus dibentuk dengan cepat tanpa kekuatan atau berumur panjang di seputar misi atau tujuan bersama. Kerapatan tidak bisa dicapai jika jaringan tidak bisa menyediakan sumber daya yang diperlukan. Jadi, potensi untuk aktivasi ada di dalam jaringan sosial itu sendiri seperti Facebook, Twitter, YouTube, Blog, dan lain-lain. Di samping jaringan sosial, pemicu untuk aktivitas sosial tidak diragukan dibangun-di dalam Internet.

Sebagaimana arena komunikasi menjadi lebih padat, lebih kompleks, dan lebih partisipatif, populasi jaringan mendapat akses yang lebih besar ke informasi, lebih banyak peluang untuk terlibat dalam pidato-pidato publik dan kemampuan ditingkatkan untuk melakukan tindakan kolektif. Gelombang gerakan gaya Tunisia dan Mesir demikian halnya.

Dalam kaitan ini, Shirky berpendapat jaringan digital telah bertindak sebagai sebuah kejutan yang menawarkan kepositifan secara besar-besaran pada biaya dan penyebaran informasi, untuk kemudahan dan menyusun pidato publik oleh warga, dan untuk kecepatan dan skala koordinasi kelompok. Memungkinkan kelompok-kelompok berkomitmen untuk bermain dengan aturan baru tanpa perlu izin dari negara atau bantuan dari media penyiaran dan berarti bahwa perilaku kelompok dapat disinkronkan dengan cepat, murah dan memasyarakat dengan cara-cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pada awal 2010, tim peneliti di Departemen Ilmu Komputer di Korea Advanced Institute of Science and Technology melakukan analisis multi-bagian dari Twitter. Dalam kesimpulan mereka menemukan bahwa Twitter adalah cara yang sangat efektif untuk menyaring dan menyebarkan informasi yang relevan. Hal itu merupakan fusi cepat perikatan dalam jaringan berpopulasi padat untuk mengaktifkan kerapatan yang diperlukan untuk memicu efek jaringan.

Tim peneliti menggunakan insiden penerbangan Air France untuk memvisualisasikan kepadatan dan distribusi, berikut ini:




Bagaimanapun penggunaan alat media sosial seperti pesan teks, e-mail, photo sharing, jaringan sosial, dan sejenisnya tidak memiliki hasil yang ditakdirkan tunggal. Dibutuhkan suatu kejadian yang luar biasa untuk mengaktifkan kerapatan di jaringan yang kuat, namun luas dan kacau. Tapi, itu adalah mungkin, dan untuk berbagai tingkatan, itu terjadi setiap hari. Dalam hal dimana perencanaan dan desain seputar aksi dan hasil yang diatur, hasilnya terbukti sangat menjanjikan dan dapat ditiru.

Fakta dan Potensi di Indonesia

Seperti dikemukakan oleh beberapa pengamat, faktor-faktor pendorong utama gerakan revolusi di Mesir dan Tunisia lebih disebabkan adanya sejumlah persoalan sama selama puluhan tahun yaitu penindasan oleh rezim otoriter, korupsi, kemiskinan, dan pengangguran. Lalu, mengapa begitu banyak orang ingin percaya bahwa media sosial dapat memulai revolusi demokrasi baru? Apa arus sosiologis lebih mendasari keyakinan tersebut?

Mark A. Shields, seorang sosiolog dan pengajar di Departemen Ilmu Humaniora dan Sosial, Universitas Isik di postingannya berjudul “Social Media and Political Revolutions: Fact and Fiction” menjelaskan, di masyarakat seperti Tunisia dan Mesir, di mana sebanyak 50 persen penduduknya berusia di bawah 25 tahun, dapat diprediksi sepenuhnya untuk melihat protes yang dipimpin oleh para aktivis kaum muda, terdidik, melek Internet (dan menganggur). Sosial media sekarang ujung terkemuka di Internet. Bagaimana harus membebaskannya untuk menemukan bahwa tweet dan postingan Facebook dapat mengisi bahan bakar aspirasi demokrasi dan bukan hanya mengisi ruang kosong kehidupan sehari-hari.

Kalau diperbandingan dengan Indonesia, persoalan-persoalan pokok yang dihadapi tak jauh beda. Demokrasi yang dikuasai elit, korupsi, pengangguran, kemiskinan, penegakan hukum, dan buruknya moral para pemimpin bangsa telah menjadi PR bagi kita semua pada umumnya dan para kaum muda pada khususnya untuk melakukan tindakan menuju perubahan sosial. 

Seperti Hinh Tran menulis di Berkeley Political Review, sementara teknologi saja tidak dapat menyebabkan jatuhnya pemerintah, hal ini jelas dapat membantu mengkatalisasi pelajar-pelajar idealis, para intelektual dan penduduk yang marah, tertindas ke tindakan yang memungkinkan mereka untuk mengorganisir dan bertukar pikiran secara online.

Dengan mempertimbangkan penetrasi jumlah pengguna Internet di Indonesia terus meningkat. Data Internet World Stats menyebutkan, pada 2009, Indonesia menduduki peringkat kelima negara pengguna Internet terbesar di Asia setelah China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Total pengguna internet di Indonesia hingga 30 Juni 2010 mencapai 30.000.000, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,400 persen selama sepuluh tahun terakhir.

Selain itu, Facebook secara resmi mengumumkan bahwa mereka memiliki lebih dari 500 juta pengguna di dunia pada Juli 2010 lalu. Menurut laporan tersebut, Indonesia adalah negara dengan pengguna Facebook terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Posisi Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan total jumlah pengguna sebanyak 25,9 juta. Sedangkan AS menempati urutan pertama dengan jumlah pengguna mencapai 125,8 juta, dan disusul Inggris dengan jumlah pengguna 26,5 juta. Dan jumlah ini hanya terus meningkat secara keseluruhan. Baca selengkapnya di “Indonesia, Negara Pengguna Facebook Terbesar Ketiga di Dunia.” 


Ini adalah sebuah pergeseran budaya dan sebuah kejutan budaya. Pada akhirnya, senjata yang sebenarnya adalah kekuatan komunikasi berjejaring itu sendiri. Mereka yang merangkul peran sebagai pelajar di masa-masa ini akan mendapatkan kemampuan untuk memimpin kita menuju era baru dari solidaritas.

Mengutip kata-kata Bung Karno: 

Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.

Terima Kasih Facebook

2 comments :

  1. Nge-blog juga salah satu metode merintis perubahan sosial sodara..

    ReplyDelete
  2. Betul sekali! Menarik untuk dijadikan topik tersendiri di postingan berikutnya dan perlu sedikit riset.

    ReplyDelete