Tuesday, May 17, 2011

Pemerintahan 2.0: Inovasi atau Tragedi?





Kisah studi banding anggota Komisi VIII DPR RI di Australia 30 April lalu, yang menuai olok-olok dari para pelajar Indonesia, menandai masih awamnya penggunaan teknologi di kalangan para pejabat dan bahkan instansi-instansi pemerintah Indonesia. Bisa dimaklumi ‘kegemasan’ para pelajar Indonesia yang tengah menyelesaikan studinya di Australia itu, dipicu ketidakakuratan alamat e-mail dan penggunaan alamat e-mail gratis bagi lembaga tinggi negara, DPR.

Di negara-negara maju, e-mail merupakan salah satu platform online penting yang digunakan sebagai sarana interaksi atau komunikasi antara warga dengan para pejabat dan instansi-instansi pemerintah. Di luar, tentu saja, website/blog, situs jaringan sosial, video online atau pesan teks. Para pejabat dan instansi-instansi pemerintah menggunakan alamat e-mail resmi yang biasanya disesuaikan dengan nama domain masing-masing negara seperti usa.gov (Amerika Serikat), gov.au (Australia), gov.uk (Inggris), go.id (Indonesia), dan sebagainya.

Australia sendiri menerapkan standar tinggi dalam keinovatifan menggunakan alat-alat Web 2.0, transparansi data dan aktivitas keterlibatan online dengan publik melalui apa yang disebut Pemerintahan 2.0. Sejak awal tahun 2000, Australia telah memimpin dalam hal transparansi data,  keterlibatan warga dan partisipasi masyarakat serta kolaborasi di seluruh instansi pemerintah. Seperti disampaikan Federal Senator Australia, Kate Lundy, teknologi mengubah hubungan warga dan pemerintah, kesenjangan digital, jaringan broadband nasional Australia, dan banyak lagi. Dia menggambarkan unsur-unsur inti dari mendefinisikan kembali pemerintah melalui teknologi. “Tiga pilar Pemerintahan 2.0 yaitu demokratisasi data, layanan terpusat warga negara dan demokrasi partisipatif. Bersama-sama, mereka masing-masing mewakili sebuah prinsip yang diperlukan untuk mencapai pemerintahan yang terbuka,"jelasnya.

Konsep pemerintahan 2.0 tumbuh dari teknologi berbasis Web 2.0, yaitu upaya untuk menentukan pendekatan baru bagi pengaturan yang menyediakan cara-cara berkomunikasi lebih langsung dan segera antara pemerintah dan warga negara mereka, terlibat dan berkolaborasi yang dimungkinkan oleh prinsip-prinsip dan alat-alat Web 2.0. Wikipedia menggunakan istilah Pemerintah 2.0 sebagai kata baru bagi upaya untuk menerapkan jaringan sosial dan manfaat integrasi Web 2.0 untuk praktek pemerintahan. Pemerintahan 2.0 merupakan upaya untuk memberikan proses yang lebih efektif untuk penyampaian pelayanan pemerintah kepada individu-individu dan bisnis. Integrasi perangkat seperti wiki, pembangunan situs jejaring sosial khusus pemerintah dan penggunaan blog, RSS feed dan Google Maps membantu pemerintah menyediakan informasi bagi masyarakat dengan cara yang lebih bermanfaat langsung bagi orang yang bersangkutan.

Gov 2.0 Australian Group justru menekankan Pemerintahan 2.0 bukan tentang pendekatan berbasis jaringan sosial atau teknologi apa pun. Tetapi lebih kepada perubahan mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan sebuah pengaturan yang terbuka, kolaboratif, dan kooperatif dimana ada (jika memungkinkan) konsultasi terbuka, data yang terbuka, berbagi pengetahuan, pengakuan keahlian, saling menghormati nilai-nilai bersama dan pemahaman tentang bagaimana setuju untuk tidak setuju. Teknologi dan alat-alat sosial hanyalah enabler dalam proses ini.

Transparansi dan Pemerintahan yang Terbuka

Sesaat setelah Presiden Barrack Obama dilantik dan berkantor di Gedung Putih, Pemerintah Federal mulai membangun dan menerapkan sebuah sistem yang lebih transparan, kolaboratif, dan partisipatif. Melalui memorandum berjudul “Transparency and Open Government”, Obama berkomitmen untuk menciptakan tingkat keterbukaan dalam pemerintahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Kami akan bekerja sama untuk memastikan kepercayaan publik dan membangun sistem transparansi, partisipasi publik, dan kolaborasi. Keterbukaan akan memperkuat demokrasi kita dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pemerintah,” kata Obama.

Tiga kriteria yang digariskan Obama tentang pemerintahan yang transparan dan terbuka sebagai berikut:

  • Pemerintah Harus Transparan: Transparansi meningkatkan akuntabilitas dan menyediakan informasi bagi warga tentang apa yang pemerintah mereka sedang lakukan. Informasi yang dikelola oleh Pemerintah Federal merupakan aset nasional. Administrasi akan mengambil tindakan yang layak, sesuai dengan hukum dan kebijakan, untuk mengungkapkan informasi secara cepat dalam bentuk bahwa masyarakat dapat menemukan dan menggunakan dengan mudah. Departemen dan lembaga-lembaga eksekutif harus memanfaatkan teknologi baru untuk menyediakan informasi tentang operasi dan keputusan-keputusan mereka secara online dan tersedia dengan mudah untuk publik. Departemen dan lembaga-lembaga eksekutif juga harus mengumpulkan umpan balik (feedback) masyarakat untuk mengidentifikasi informasi pada penggunaan terbesar untuk publik.
  • Pemerintah Harus Partisipatif: Keterlibatan publik meningkatkan efektivitas pemerintah dan memperbaiki kualitas keputusan-keputusannya. Pengetahuan tersebar luas di masyarakat, dan pejabat-pejabat publik berkepentingan memiliki akses ke pengetahuan yang tersebar tersebut. Departemen dan lembaga-lembaga eksekutif harus menawarkan peningkatan peluang masyarakat (Amerika) untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan untuk menyediakan pemerintah mereka dengan manfaat dari keahlian kolektif dan informasi mereka. Departemen dan lembaga-lembaga eksekutif juga harus meminta masukan dari masyarakat tentang bagaimana kita dapat meningkatkan dan memperbaiki peluang untuk partisipasi publik dalam pemerintah.
  • Pemerintah Harus Kolaboratif: Kolaborasi aktif yang melibatkan masyarakat (Amerika) dalam pekerjaan pemerintahan mereka. Departemen dan lembaga eksekutif harus menggunakan alat-alat, metode, dan sistem yang inovatif untuk bekerjasama diantara mereka sendiri, di semua tingkatan pemerintah, dan dengan organisasi-organisasi nirlaba, bisnis, dan individu-individu di sektor swasta. Departemen dan lembaga Eksekutif harus meminta masukan publik untuk menilai dan meningkatkan tingkat kolaborasi mereka dan untuk mengidentifikasi peluang-peluang baru untuk kerjasama.

Penerapan memorandum yang kemudian dikenal “Pemerintahan 2.0” itu mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat AS. Hasil survei Pew Internet terhadap 2.258 pengguna internet berusia di atas 18 tahun di AS menunjukkan, sekitar 40% melakukan online untuk mencari data tentang pengeluaran pemerintah dan kegiatan. Ini termasuk siapa saja yang telah melakukan setidaknya salah satu dari berikut: melihat secara online bagaimana uang stimulus federal dihabiskan (23%), membaca atau mendownload teks undang-undang (22%), mengunjungi situs seperti data.gov yang menyediakan akses ke data pemerintah (16%), atau melihat siapa yang berkontribusi terhadap kampanye pejabat terpilih mereka (14%).

"Interaksi pemerintah di era informasi sering didorong oleh data," kata Aaron Smith, seorang peneliti di Pew Research Center’s Internet & American Life Project. "Warga negara secara online dapat dan sering melakukan go to the source dalam upaya mereka untuk memantau kegiatan pemerintah, mengevaluasi dampak undang-undang baru, dan melacak aliran uang pajak mereka."

Laporan ini juga menemukan bahwa 31% orang dewasa online telah menggunakan alat sosial seperti blog, situs jejaring sosial, dan video online serta email dan sinyal teks untuk tetap terinformasi tentang kegiatan pemerintah.
  
Interaksi warga dengan pemerintah, secara khusus, seringkali:

  • Didorong Data: Upaya instansi pemerintah untuk memposting data online mereka beresonansi dengan warga. Sebanyak 40% orang melakukan online untuk mengakses data dan informasi tentang pemerintah (misalnya: untuk melihat anggaran dihabiskan, kontribusi/sumbangan kampanye politik atau teks undang-undang). 
  • Diorganisir Seputar Platform Online Baru: Interaksi warga dengan pemerintah bergerak di luar website. Hampir sepertiga (31%) orang dewasa online menggunakan platform online seperti blog, situs jaringan sosial, email, video online atau pesan teks untuk mendapatkan informasi pemerintah. 
  • Partisipatif: orang-orang Amerika tidak hanya online untuk data dan informasi; mereka ingin berbagi pandangan pribadi mereka pada bisnis pemerintah. Hampir seperempat (23%) pengguna internet berpartisipasi dalam debat online seputar kebijakan atau isu-isu pemerintah, dengan banyak diskusi ini terjadi di luar saluran resmi pemerintah

Indonesia Dalam Kejutan

Mark Drapeau, seorang asisten profesor di Sekolah Media dan Hubungan Publik, Universitas George Washington dan sekaligus salah satu direktur di Microsoft, membagi Pemerintahan 2.0 dalam tiga tahap yaitu:

1. Tahap Kejutan (200? -2008): Pada tahun 2008 (dan sedikit sebelumnya), Pemerintahan 2.0 berada dalam fase kejutan. Kejutan bahwa sesuatu seperti Twitter signifikan. Mengherankan bahwa pemerintah mungkin menggunakan Facebook sebagai platform hubungan publik. Kejutan bahwa organisasi-organisasi yang secara hirarki ketat seperti layanan militer akan menggunakan teknologi non-hirarkis seperti wiki dan blog untuk mencapai misi mereka. Sebut saja fase ini mengejutkan, atau ketakutan, atau ketidaktahuan, atau lainnya, tapi pada intinya Pemerintahan 2.0 memiliki masa depan yang tidak pasti.  

2. Tahap Percobaan (2009): Pada fase ini percobaan pun mulai terjadi. Drapeau menyebutnya sebagai kebangkitan eksperimental, dimana orang-orang melek teknologi baik di dalam dan di luar pemerintah bergerak menuju perubahan - perubahan dalam bagaimana pemerintah mengoperasikan secara internal, dan bagaimana berinteraksi dengan publik. "Goverati" ini membentuk inti gerakan untuk membawa visi Gedung Putih dari pemerintahan yang lebih transparan, kolaboratif, dan partisipatif dimana warga berpartisipasi secara terus menerus dan tidak hanya pada waktu pemilu untuk membuahkan hasil.  

Dalam waktu ini, istilah "Pemerintah yang Terbuka" juga menjadi populer. Meski tidak benar-benar jelas penggunaan istilah "Pemerintah yang Terbuka" atau "Pemerintah 2.0", namun keduanya cukup jelas dan berarti untuk jumlah gerakan yang membentang mulai dari filosofi tentang bagaimana pemerintah harus bekerja untuk orang, untuk media sosial dan jaringan sosial, komputasi awan, untuk teknologi mobile, untuk open source dan teknologi/interoperabilitas terbuka, dan bahkan untuk topik seperti cybersecurity dan privasi data warga. Contoh yang paling drastis dalam hal pemerintah memeluk teknologi baru, Departemen Pertahanan meluncurkan Defense.gov, dimana fitur-fitur secara eksplisit dilink ke YouTube, Twitter, Flickr, dan sebagainya. "Kami ingin mendengar dari Anda!" menjadi moto instansi-instansi pemerintah.

3. Tahap Solusi (2010-201?): Pada tahap ini lanskap Pemerintahan 2.0 bergeser, benar-benar melakukan eksperimen dan menganalisis hasil, menjadi satu di mana orang-orang mencari solusi yang stabil, dapat dipercaya, legal, interoperable, dan lengkap untuk masalah-masalah pemerintah. Meskipun, solusi-solusi ini tidak selalu gratis, tidak selalu open source, tidak selalu dibuat oleh 35 hacker yang bertemu di akhir pekan, tidak selalu tersedia di web atau cloud, dan tidak selalu tersedia off-the-shelf.

Menilik layanan online yang disediakan beberapa departemen dan lembaga-lembaga pemerintah, plus insiden “komisidelapan@yahoo.com”, wajar kalau Indonesia masuk dalam kategori kejutan. Alih-alih menyediakan informasi/data yang transparan untuk publik dan menyediakan ruang kepada publik untuk berpartisipasi, pemanfaatan e-mail resmi saja masih jauh dari jangkauan. Penggunaan alamat e-mail gratis seperti Yahoo dan Gmail, bagaimanapun, beresiko tinggi. Apalagi ini menyangkut tugas-tugas negara.

Ke depan, masyarakat hanya akan tumbuh dalam penggunaan internet. Data Internet World Stats menyebutkan, pada 2009, Indonesia menduduki peringkat kelima negara pengguna Internet terbesar di Asia setelah China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Total pengguna internet di Indonesia hingga 30 Juni 2010 mencapai 30.000.000, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,4 persen selama sepuluh tahun terakhir. Data ini belum termasuk pengguna mobile internet yang kian menjamur seiring peningkatan jumlah pengguna Blackberry, iPhone, iPad, dan sebagainya.

Dari data resmi Facebook pada Juli 2010 menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan pengguna Facebook terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Posisi Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan total jumlah pengguna sebanyak 25,9 juta. Sedangkan AS menempati urutan pertama dengan jumlah pengguna mencapai 125,8 juta, dan disusul Inggris dengan jumlah pengguna 26,5 juta. Dan jumlah ini hanya terus meningkat secara keseluruhan. 

Kemampuan dan kemudahan masyarakat menggunakan alat-alat Web 2.0 dalam kehidupan sehari-hari, pada akhirnya, menyeret pemerintah menghadapi apa yang disebut masyarakat 2.0. Dengan berbagai kemudahan fasilitas yang disediakan, real time, dan menjangkau khalayak luas oleh platform tersebut. Publik dengan mudah dan cepat akan terlibat dalam isu-isu yang terjadi di sekitar mereka, membuat laporan kejadian, berbagi foto, menayangkan video-video, dan sebagainya. Tanpa perlu menjadi dan/atau mengandalkan jurnalis handal.

Lantas, dimana “wajah” pemerintah ketika semua hal itu telah dan sedang terjadi? Apakah pemerintah siap menghadapi masyarakat 2.0? Tinggal pilih, bersiap melakukan terobosan inovasi atau justru terjungkal menjadi tragedi.
  

No comments :

Post a Comment