Dalam sepuluh tahun terakhir, kita melihat bahwa media sosial telah menggembleng ribuan politikus, membuat banyak industri hancur, dan menawarkan hiburan visual dan audio yang melimpah. Tetapi apakah semua perubahan yang luar biasa ini benar-benar mengubah kita, atau hanya pada dunia yang kita tinggali?
Ada beberapa wilayah dimana media sosial telah mengakar, dan boleh dibilang memiliki efek permanen pada kehidupan kita. Pertanyaannya, apakah semua perubahan ini akan menjadi lebih baik?
Anak-anak Lebih Melek Media
Hal ini cukup beralasan, anak-anak yang lebih suka membaca dan menulis, tentu meningkatkan minat membaca dan menulisnya. Menulis postingan blog, meng-update status, pesan-pesan teks dan pesan instan, hal-hal seperti ini memotivasi anak untuk membaca dan menulis.
Bulan lalu, The National Literacy Trust merilis hasil surveinya terhadap lebih dari 3000 anak-anak. Mereka mengamati hubungan antara keterlibatan anak-anak di media sosial dan tingkat keaksaraan (melek media). Secara sederhana, media sosial telah membantu anak-anak menjadi lebih melek media.
Selain itu, Eurostat baru-baru ini menerbitkan sebuah laporan bergambar tentang hubungan antara pendidikan dan aktivitas online, dan menemukan bahwa aktivitas online meningkat seiring dengan tingkat aktivitas normal (faktor sosial-ekonomi, secara potensial memperngaruhi).
Lingkungan Yang Akrab
Lisa Reichelt, seorang konsultan di London yang juga aktif di media sosial menjulukinya dengan istilah “Keakraban Lingkungan”. Ini menggambarkan cara dimana media sosial memungkinkan Anda untuk “…tetap berhubungan secara teratur dan intim dimana lazimnya Anda tidak memiliki akses untuk itu, karena waktu dan ruang yang tidak memungkinkan.”
Coba bayangkan, teknologi komunikasi telah melewati fase sejarah – telepon, kode morse, semaphore, merpati pos, sinyal asap – dimana semua cukup merepotkan dan membutuhkan tenaga kerja manusia (padat karya). Lisa telah mencapai pada sebuah gagasan bahwa komunikasi telah menjadi begitu nyaman, dan hal ini benar-benar terjadi di lingkungan sekitar kita. Ruang lingkupnya tak terbatas, dimanapun kita inginkan, dan kapanpun kita mau.
Pengetahuan Adalah Kekuatan
Dari Meditationes Sacrae-nya yang diterbitkan pada 1597, Francis Bacon memfrasekan sebuah ungkapan “Pengetahuan Adalah Kekuatan”. Pada dasarnya, semakin Anda memahami tentang kehidupan, lebih banyak kesempatan yang bisa Anda dapatkan untuk sukses. Tetapi sekarang, Wikipedia dan Google telah membuat ‘demokratisasi informasi’ ke titik dimana siapa saja bisa memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan.
Sebagai contoh, sebelumnya saya belum pernah mendengar tentang Meditationes Sacrae sampai saya menemukan istilah “Pengetahuan Adalah Kekuatan” di Wikipedia. Di masanya Bacon, hanya orang-orang yang memiliki akses ke buku-buku dan literature yang bisa menembus para pemangku kebijakan, tak lebih dari orang-orang kaya yang memiliki waktu dan kecenderungan untuk belajar.
Tentu saja, buku bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Mengingat para pandai besi, penjahit, tukang sepatu atau pelaut mendapatkan keterampilannya secara turun temurun, dari orang tua ke anak. Saat itu, adanya friksi yang menahan orang-orang untuk belajar adalah tingkat melek huruf yang rendah, kurangnya akses terhadap buku dan waktu yang sangat sedikit.
Sekarang, friksi semacam itu hampir tidak ada. Hal ini karena kemampuan komputer untuk mereplikasi informasi untuk distribusi, dan caranya Google, Wikipedia, dan blog yang telah diberdayakan orang-orang untuk berbagi apa saja yang mereka ketahui. Kini, satu-satunya friksi yang ada yaitu keingintahuan kita sendiri untuk pengetahuan itu. Semua ada disana untuk Anda – jika Anda menginginkannya.
Penemuan Kembali Saluran Politik
Sebuah laporan terbaru dari PEW menemukan tanda-tanda bahwa jaringan sosial mendorong anak-anak muda untuk terlibat di politik. Coba Anda lihat dampak paling baru dari Twitter pada pemilu di Iran, Revolusi Oranye d Ukraina, dan bahkan pemilihan Barack Obama, untuk melihat semakin banyak orang terlibat di politik dan merasa mereka dapat membuat sebuah perbedaan.
Salah satu blog yang paling populer di web, The Huffington Post, utamanya mengulas masalah-masalah politik. Politik memiliki langkah yang cepat, sehingga membuat diri mereka cocok untuk media sosial. Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown mengatakan pada bulan Juni tahun lalu karena Internet, "kebijakan luar negeri tidak bisa lagi hanya menjadi wewenang dari beberapa elit." Twitter bahkan menunda upgrade-nya karena peran pentingnya bermain di pemilu Iran .
Ini semua merupakan tanda-tanda dari pengaruh media sosial yang semakin berkembang dalam politik, dan sekaligus pertumbuhan minat di politik dari pengguna media sosial.
Pergeseran Marketing
Pemasaran dan iklan menjelmakan diri dari sebuah industri yang bergantung pada saluran pemasaran massal ke satu saluran yang harus merangkul kekuatan konsumen dan berupaya untuk terlibat dalam percakapan. Pendekatan tradisional dari jangkauan khalayak yang luas dan pesan yang diulang-ulang sekarang digantikan oleh aktivitas-aktivitas yang jauh lebih kecil, berelung, dan lebih terpusat. Periklanan tidak mati, hanya berubah bentuk. Kita sekarang lebih memiliki kekuatan dan lebih banyak pilihan.
Berita Sebagai Budaya Pertukaran
Kita bukan lagi konsumen pasif yang malas. Sebaliknya, kita adalah partisipan yang aktif. Kita sekarang mendapatkan berita-berita dari jaringan yang kita buat, dan berita-berita kita lalui satu sama lain menyatakan esuatu tentang kita. Ini memberitahu orang-orang tentang apa yang menarik bagi mereka dan apa yang penting untuk kita. Kita biasa menyebutnya gosip – dan sampai batas tertentu masih ada – tetapi jika Anda seorang jurnalis di sebuah surat kabar lokal, pergeserannya adalah melalui kegemaran seperti Twitter, Digg atau StumbledUpon yang belum pernah ada sebelumnya.
Kesimpulan
Jelas ada yang skeptis. Susan Greenfield berpikir bahwa jaringan sosial mengubah kita menjadi bayi-bayi, menyusutkan rentang perhatian kita, kemampuan kita untuk berempati, dan mengikis identitas kita. Dia bahkan menunjukkan hubungan antara meningkatnya pemakaian resep obat ADHD dengan pertambahan waktu yang dihabiskan di depan komputer. Demikian halnya, Vincent Nichols, Uskup Agung Katolik Roma Westminster baru-baru ini menyatakan bahwa jaringan sosial menyebabkan meningkatnya “hubungan sementara”, merupakan komunitas kehidupan yang “manusiawi”, sebagai sebuah konsekuensi, kita “kehilangan ketrampilan bersosialisasi”.
Mereka ada benarnya juga. Siapapun yang punya sedikit pengalaman menggunakan media sosial tahu bahwa ini tentang bagaimana untuk lebih bersosialisasi. Kita lebih terlibat dengan teman, lebih melek media, lebih terhubung, lebih terbuka untuk menciptakan hubungan baru, dan secara umum lebih tertarik pada dunia di sekitar kita.
Bagaimana menurut Anda? Apakah media sosial mengubah Anda? Lebih baik atau lebih buruk?