Friday, November 12, 2010

Politisi Gaul di Jejaring Sosial, Kenapa Tidak?


Foto Profil Facebook Irgan Chairul Mahfiz


Belum lama ini, saya mewawancarai Irgan Chairul Mahfiz, anggota DPR RI dan sekaligus Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) MPR RI. Ada yang menarik dari sosok pria kelahiran Batubara, Sumatera Utara, 24 September 1963 ini. Selain mahir berpolitik, Irgan ternyata juga gaul. Ia aktif di berbagai jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, situs dan blog pribadi. Gaya-gayaan?

Tidak. Berbeda dengan politikus-politikus lain, Irgan faham betul arti berkomunikasi dengan kontituen khususnya dan masyarakat pada umumnya. Komitmen Irgan untuk tidak putus melakukan komunikasi dengan rakyat diwujudkan dengan membuka saluran komunikasi seluas-luasnya di dunia maya. “Semua sarana komunikasi saya gunakan untuk membangun komunikasi dengan konstituen. Jadi orang bisa mengakses saya setiap waktu,” kata Irgan.

Berikut ini daftar jejaring sosial yang digunakan Irgan sebagai sarana komunikasi dengan kontituennya:

Twitter : @irganchmahfiz
Website Pribadi : irganchmahfiz.com

Prinsip-prinsip yang dijunjungnya, sebagai wakil rakyat, ia merasakan bahwa masyarakat membutuhkan perhatian dan ingin supaya aspirasinya betul-betul diserap secara maksimal. “Itulah yang harus kita dengar,”ucapnya. Selama ini banyak sekali sumbatan-sumbatan komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, atau rakyat dengan pemegang kekuasaan (penguasa), dan DPR lah sebagai jembatan itu. 

“Saya sebagai anggota DPR ya membuka mata dan telinga untuk mendengar semua aspirasi itu dengan sepenuh hati, seikhlas kita melakukannya. Kan kita didukung oleh rakyat, jadi kita tidak ingin menjadi anggota DPR yang mubazir atau memubazirkan amanah yang telah diberikan oleh kita,”jelasnya. Jadi setiap waktu, setiap hari, setiap saat DPR harus peka terhadap apa yang menjadi keinginan atau aspirasi masyarakat untuk diperjuangkan. 

Uniknya, semua bentuk komunikasi interaktif itu ia lakukan sendiri. Maksudnya, ia sengaja tidak memberikan subkontrak atau pelimpahan tugas kepada staf khusus atau pihak ketiga dalam hal merespon dan memelihara jaringan sosialnya. Dari mulai update status, posting foto, menjawab pertanyaan, menulis blog semua ia lakukan sendiri. Alasannya, bila hal itu diserahkan ke orang lain, cara merespon belum tentu sesuai dengan selera, tipikal dan sikap pribadinya. Dari cara menjawab atau segi bahasa misalnya, ia khawatir nanti bisa salah ke komunikannya. 

“Memang saya berupaya untuk melayani sendiri walaupun jawabanya terkadang singkat dan padat. Yang penting mereka merasa terlayani atau terkomunikasikan dengan saya. Alhamdulillah, masih bisa saya layani,”ungkap Irgan.

Selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP, satu hal yang masih tetap ia jaga adalah membangun komunikasi dengan seluruh jajaran kepartaian baik di pusat, wilayah maupun cabang serta dengan konstituen. Ia memantau jajaran struktur organisasi dari Aceh sampai Merauke. Karenanya sampai hari ini Irgan tidak pernah tidak membalas SMS dari siapapun yang ditujukan kepadanya. Walaupun terkadang nomor pengirim tidak ter-record atau terkadang isi SMS bermacam-macam. “Sampai hari ini saya masih konsisten untuk itu,”tandasnya.

Menurut Irgan, kalau kita memprotek diri kita untuk  berkomunikasi dengan orang lain nanti hatinya tidak sangkut kepada kita. Walaupun mungkin terkadang kita tidak mampu melayani apa yang menjadi keinginan konstituen. “Tapi paling tidak ada perhatian, concern dan aware kita terhadap pendukung kita. Tidak dilupakan, tidak hanya dipakai pada kegiatan pemilu saja tapi berkelanjutan,”ujarnya.

Ini sesuai dengan prinsip hidupnya one million friends and zero enemy atau sejuta kawan terasa kurang, satu lawan terasa banyak. Artinya, ia  ingin bergaul dan berkomunikasi dengan semua orang dari semua lapisan dan level. Tidak kenal apakah itu pejabat elit atau orang dhuafa sekalipun. “Bagi saya tidak ada sesuatu yang harus diarogankan dengan jabatan yang saya raih sekarang. Karena roda kehidupan berputar, suatu waktu saya bisa berada di bawah,”Irgan berfalsafah. 

Di sini jelas, kehadiran Irgan di ruang media sosial tak sekedar untuk gaya-gayaan atau latah. Bandingkan dengan banyak politikus lain yang menjelang pemilihan umum (pemilu) legislatif 2009 lalu berbondong-bondong memanfaatkan kehadiran jaringan sosial untuk kampanye mereka. Hampir setiap hari mereka rajin meng-update status dan aktivitas kesehariannya di Facebook. Mulai dari rapat, seminar/diskusi, kunjungan kerja, silaturahmi, wawancara dengan pers sampai ulasan berbagai berita/artikel mengenai mereka. Tak lupa, mereka juga rajin mem-posting foto-foto terbaru.

Ada sederet politikus dan tokoh lain justru terang-terangan menjadikan situs internet seperti Facebook, Friendster, You Tube atau blog sebagai ajang kampanye, untuk meraih suara di Pemilu 2009. Sebut saja Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Gerakan Nasional Caton Independen M. Fadjroel Rachman, Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng, Khofifah Indar Parawansa, anggota DPD M. Ichsan Loulembah, Yushl Ihza Mahendra dan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir. Sampai sekarang para tokoh dan politikus yang siap maju di ajang Pemilu 2009 itu mampu menjaring ratusan hingga ribuan teman. 

Sayangnya, sebagian besar dari mereka belum memanfaatkan secara optimal ruang yang disediakan oleh komunikasi digital generasi Web 2.0 (baca: web-to-o). Dalam era ketika situs membuka ruang komunikasi dua arah, partisipasi dan keterlibatan, mereka masih mengandalkan cara berpikir tradisional dengan "menyodori" publik komunikasi satu arah. Kita diposisikan hanya untuk mendengar, memahami platform atau program-program mereka, dan kemudian berseru “Pilih Saya!”.

Bukan sebaliknya, menggali sebanyak mungkin masalah-masalah dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, untuk kemudian memilahnya dan mengemas menjadi pesan-pesan politik yang cantik dan menyentuh emosi publik. Sebagai perbandingan, Barack Obama sukses memanfaatkan intemet sebagai ajang kampanye dalam proses pemilihan nominasi (Konvensi Nasional) calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, mengalahkan rivalnya Hillary Clinton. Obama memilih langkah pintar dengan mengoptimalkan sernua aresenalnya di dunia Web 2.0 berupa situs Pribadi, blog, dan situs jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, Friendster, Blogosphere dan You Tube.


Obama di Facebook

Tragedi topan Gustaf yang melanda di wilayah New Orleans, Louisiana dan Teluk Meksiko misalnya, "disulap" oleh Obama menjadi sebuah political marketing yang cantik. la mengirim e-mail ke seluruh pendukungnya dengan tajuk 'Help Gulf Coast Resident and First Responders Hurricane Gustaf" , yang intinya mengajak pendukungnya untuk melakukan sesuatu bagi korban topan Gustaf dan memberikan donasi untuk meringankan beban para korban. Ini menjadi contoh kepekaan Obama dalam melihat sebuah momen yang tengah terjadi di masyakarat (AS), dan dengan cepat mengemasnya menjadi sebuah pesan sosial.


Obama di Twitter

Didukung oleh realitas bahwa internet dan jejaring sosial yang ada di dunia maya telah menjadi kebutuhan utama publik Amerika. Dengan penetrasi internet di AS mencapai 69%, lebih tinggi dibanding rata-rata jumlah pemilih Pemilu AS yang kurang dari 50%. Tak disangsikan lagi bahwa di Amerika target pemilih bisa dikatakan cukup identik dengan pengguna internet.


Blog Obama

Berbeda dengan Indonesia, dimana pengguna internet bisa jadi belum jadi target untuk menghimpun pemilih saat ini. Penetrasi internet di Indonesia masih sekitar 9,8 persen atau belum signifikan bila dibandingkan dengan total jumlah pemilih di seluruh Indonesia. Itu pun mereka umumnya berangkat dari kalangan terdidik dan kritis, yang mungkin sulit dijejali pidato-pidato politik. Tetapi bukan berarti mereka tidak bisa didayagunakan.

Kehadiran situs jaringan sosial, bagaimanapun, telah membuka mata dan telinga kita. Saat ini Indonesia menjadi negara terbesar ketiga pengguna Facebook di dunia dengan total jumlah pengguna mencapai 26 juta. Dan juga menduduki urutan ke-4 terbesar pengguna Twitter di dunia. Tak hanya dunia bisnis, dunia politikpun harus mengambil peranan memanfaatkan apa yang disebut era ‘demokratisasi media’ ini. Hanya saja, membutuhkan strategi yang tepat khususnya untuk personal branding. Publik di dunia maya membutuhkan pesan-pesan cerdas dan simpatik sehingga menyakininya sebagai sebuah jalan keluar menuju perubahan. Yes, we can!



No comments :

Post a Comment